MALAKA, faktahukumntt.com – 25 Maret 2023

Benyamin Mali*

Latar belakang

Manusia butuh cahaya dan energi. Cahaya untuk menerangi langkahnya, rumah dan tempat kerjanya. Energi untuk menggerakkan alat-alat elektronik di rumah (TV, Laptop, Komputer, Kulkas, AC – pendingin ruangan, mesin pompa air, dan lainnya). Baik cahaya maupun energi diperoleh dari LISTRIK, yang dikelola oleh PT. PLN (Persero) untuk kepentingan umum seluruh rakyat, juga pemerintah.

Dalam mewujudkan tujuannya, PT. PLN (Persero) mempunyai tugas pokok yaitu (a) mendistribusikan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan (b) memberikan pelayanan kepada pelanggan. Dalam kerangka pelaksanaan tugas ini, PT PLN (Persero) tampil sebagai distributor tenaga listrik di wilayah kerjanya, sebut saja misalnya Kabupaten Malaka.

Pertanyaan pokok kita dalam konteks mati-hidupya listrik secara tak karuan berbulan-bulan di Malaka adalah “Sungguhkah tugas dan fungsi ini dilaksanakan dengan baik, benar dan sepenuh hati selaras aturan hukum negara? Sadarkah Manajemen PLN Sub Ranting Betun akan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1267, Pasal 29 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta dalam Pasal 19 dan Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? Sejauh mana tanggung jawab moral dan sosial Manajemen PLN Betun kepada seluruh konsumen/pelanggan di Malaka yang mengalami kerugian luar biasa akibat padamnya listrik secara sepihak tanpa keterangan a-i-u-e-o?

Tempora Mutantur-Zaman sudah berubah

Kita sudah hidup di Abad 21, abad modern, abad serba canggih. Kita tidak bisa lagi kembali ke zaman purbakala, zaman nenek moyang kita tempo dulu. Namun padamnya listrik saban hari selama bulan-bulan terakhir serta-merta menyeret kita ke alam kehidupan nenek moyang di zaman purbakala, di mana mereka hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang di malam hari, dan “badut” – satu istilah masyarakat Malaka untuk menamai penerang rumah di malam hari yang terbuat dari buah pohon damar yang ditumbuk halus, dikeringkan dan dililitkan pada lidi lalu dibakar. Sungguh menyengsarakan dan membuat kita naik pitam dan memaki-maki. Betapa tidak!

Kebutuhan kita ada macam-macam, tidak hanya sebatas kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, layanan kesehatan dan pendidikan, tetapi juga kebutuhan akan ‘teknologi modern’, yang perkembangannya sangat pesat sejalan dengan inovasi-inovasi baru seiring perkembangan dan perubahan zaman. Demi kebutuhan yang serbaneka itu, kita membeli alat-alat elektronik berteknologi canggih (TV Digital, HP, AC, Laptop, Komputer, Kulkas bermerk mutakhir); kita merintis macam-macam usaha, baik bertaraf kecil-menengah maupun besar dilengkapi mesin-mesin canggih. Semua alat teknologi itu mempermudah kita dalam bekerja dan memudahkan kita dalam mewujudkan taraf hidup yang lebih baik.

Namun sayang seribu sayang. Semua peralatan canggih itu tidak ada gunanya, selain hanya sebagai pajangan penghias rumah, dan tidak akan berfungsi jika tidak ada LISTRIK. Semuanya bergantung pada LISTRIK. Dengan listrik, semua peralatan teknologi dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tampak di sini betapa besar dan pentingnya peran listrik untuk memenuhi semua kebutuhan kita sehari-hari.

PLN harus bertanggungjawab

Listrik di seluruh tanah air dikelola oleh PT. PLN, badan usaha milik negara berbentuk Persero. Hakikatnya adalah sebagai fasilitas yang diadakan negara dalam kerangka menjalankan tugas mendukung kehidupan rakyat agar dengan fasilitas ini rakyat memperoleh kemudahan untuk bekerja mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Untuk itu rakyat mengajukan permohonan penyambungan jaringan listrik atas dasar suatu “perjanjian jual beli” yang tertuang dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJLTL).

Atas dasar perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban. Hak mengandung suatu ‘tuntutan-keras’ yang harus dipenuhi dan dihormati. Demikian juga kewajiban. Keduanya bersifat ‘legal’ sesuai aturan hukum negara dan terkait erat dengan ‘keadilan’.

Rakyat berhak mendapatkan aliran listrik dan berkewajiban membayar tarif listrik secara tepat waktu. PLN atas nama negara berhak atas bayaran aliran listrik sesuai tarif dan berkewajiban mengalirkan arus listrik, juga peralatan-peralatan yang terkait dengan aliran listrik. Lahirlah ‘keseimbangan’ antara hak dan kewajiban. Kelalaian dan/atau kesengajaan terkait pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak menyebabkan ‘ketidakadilan’ yang dapat saja berujung di Kantor Pengadilan agar keadilan ditegakkan.

Anehnya ialah masyarakat sebagai konsumen dengan mudah secara sepihak dijatuhi sanksi bila mereka terlambat menunaikan kewajibannya membayar tarif listrik dengan memutus aliran listrik, sementara sanksi yang sama tidak dikenakan kepada manajemen PLN Kabupaten Malaka yang lalai dan/atau acuh tak acuh merealisasikan pelayanannya kepada masyarakat.

Seharusnya demi tegaknya ‘keadilan’, PT.PLN (Persero) harus dikenai juga sanksi hukum, lebih-lebih karena pemadaman listrik secara sepihak, yang dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat, telah menimbulkan kerugian luar biasa di pihak masyarakat konsumen. Kerugian ini bisa bersifat material maupun non-material. Kerugian material itu berupa rusaknya alat-alat elektronik yang mahal harganya. Atau usahawan-usahawati kelas ‘home industry’ yang bergantung pada listrik dapat saja mengalami ‘wanprestasi’ karena tidak dapat memenuhi pesanan pelanggannya. Seorang teman saya kecewa berat hingga naik pitam dan maki-maki PLN (non-material yang bersifat psikologis) karena pekerjaannya memenuhi pesanan seorang pelanggannya harus dimulai dari awal lagi selama beberapa kali karena listrik mati-hidup secara tak terduga tiap-tiap hari.

Dalam konteks ini, wajar dan sepantasnya PLN Betun harus dimintai tanggung jawabnya secara hukum, karena telah lalai melaksanakan kewajibannya terhadap masyarakat konsumen pengguna listrik, yang dari pihaknya telah melakukan kewajibannya membayar listrik. Masyarakat berhak mendapatkan apa yang selayaknya didapat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama konsumen pengguna listrik yang mata pencahariannya sangat bergantung pada ada-tidaknya listrik. Tanggung jawab itu harus ditunjukkan demi tegaknya keadilan. Pertanggungjawaban itu tidak hanya berupa permintaan maaf, tetapi juga berupa keberanian mengundurkan diri dari tugas dan jabatannya.

Sekilas kesan spontan

Mengikuti diskusi grup-grup WA dari putra/i Malaka dan tayangan-tayangan di FB perihal “padamnya listrik PLN Malaka”, ada beberapa poin kesan spontan timbul dalam benak saya. Maafkan saya, mungkin kesan spontan ini ‘kebangatan menusuk kalbu’.

Pertama, Manajemen PLN “tidak ta(h)u diri”. Keseringan padamnya listrik PLN menggoda saya untuk berkata “Manajemen PLN Malaka tidak ta(h)u diri”. Mereka, terutama pimpinannya, tidak menyadari bahwa mereka memimpin sebuah Badan Usaha Milik NEGARA yang didirikan untuk (a) mendistribusikan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan (b) memberikan pelayanan kepada pelanggan, yaitu rakyat Indonesia, di manapun mereka berada dan beraktivitas. Dan untuk tugas mulia itu, mereka digaji dengan uang yang diambil dari pajak rakyat. Mereka, terutama pimpinannya, juga tidak menyadari hubungan eksistensial antara negara dan rakyat, yaitu bahwa : (a) tanpa rakyat tidak ada negara, (b) rakyat adalah tulang punggung eksistensi negara, dan (c) profil rakyat mencerminkan profil negara. Bagi mereka, memiliki keterampilan professional di bidang teknik pelistrikan sudahlah cukup untuk bekerja di PT. PLN. Semangat kebangsaan dan kerakyatan yang mengawali lahirnya republik besar ini jauh dari pertimbangan mereka. Sayang seribu sayang. Inilah penindas-penindas rakyat di level daerah yang sudah sepantasnya tidak dipekerjakan dan sebaiknya dinonaktifkan demi terwujudnya BONUM COMMUNE, kebaikan umum rakyat Malaka yang selalu didengungkan sebagai “suprema lex”, hukum yang tertinggi. Mereka menggerogoti negara dari dalam tubuh negara.

Kedua, Kesan kedua saya yang spontan timbul ialah bahwa “manajemen PT PLN” bersikap acuh tak acuh, cuek dengan segala bentuk kerugian yang diderita rakyat Malaka karena pemadaman listrik secara sepihak tanpa pemberitahuan. Masyarakat menyadari sungguh bahwa pemadaman listrik merupakan kejadian yang wajar terjadi karena adanya kerusakan-kerusakan bagian-bagian tertentu dari peralatan yang ada, misalya kerusakan mesin atau jaringan listrik. Menjadi “tidak wajar” dan terkesan “disengaja” bila pemadaman ini terjadi hampir setiap hari dan dalam waktu yang cukup lama. Menurut catatan banyak pihak, padamnya listrik di Malaka sudah terjadi selama tiga bulan.

Terbersit di sini fenomena “main kuasa”, mentang-mentang PT. PLN merupakan insitusi yang tidak punya hubungan struktural dengan pemerintah daerah, dan dengan demikian tidak bisa diapa-apakan oleh pemerintah daerah, termasuk dipecat secara tidak hormat oleh (misalnya) Bupati Kepala Daerah Malaka. Tampak pula di sini, betapa kuatnya kuasa negara atas rakyat yang adalah pemegang kedaulatan negara.

Bila pengelolaan negara didasarkan pada paradigma kuat-lemah, maka rakyat akan selalu menjadi “korban” main-kuasanya negara, dan negara mulai jatuh ke dalam praktik “otoritarianistik” di mana negara memiliki “kuasa penuh” atas nasib rakyat.

Ketiga, kesan spontan ketiga yang timbul dalam hati saya berupa pertanyaan berikut: “Siapa orang-orang yang ada di balik meja dan ruang-ruang mesin PLN Malaka ini dan dari mana mereka berasal? Pertanyaan ini menggoda saya untuk melacak asal-usul orang-orang PLN ini. Hal ini penting terkait “mentalitas” di balik kinerja orang-orang PLN ini. Padamnya listrik di Malaka secara sepihak dan dalam waktu yang lama dengan menimbulkan kerugian besar di pihak rakyat konsumen listrik PLN mengesankan sikap kurang peduli yang luar biasa.

Bahwa ada kerusakan peralatan PLN tertentu, bisa dimengerti, tetapi apalah artinya kerusakan ini lama sekali diperbaiki. Tampaknya ada kesengajaan untuk terus membiarkan kerusakan itu terjadi sehingga mereka punya alasan untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Sebagai professional di bidang kelistrikan, mereka tentu tahu dengan jelas apa kerugian yang diderita konsumen bila listrik terus-menerus padam, dan mereka suam-suam kuku saja terhadap penderitaan rakyat. Apakah ini tanda-tanda NOTAR LALEK (red, kurang berbudaya atau adat)?

Demikian saja sekelumit catatan saya untuk Manajemen PLN Sub Ranting Betun untuk direnungkan dan disikapi. Mohon maaf, bila kesan spontan saya menusuk hati dan membuat tidak nyaman.

* Pemerhati masalah sosial Malaka, tinggal di Jakarta

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.